Mimpi Jakarta Bebas Tawuran

Mimpi

Mimpi Jakarta Bebas Tawuran

Mimpi Jakarta Bebas Tawuran

Mimpi
Mimpi Jakarta Bebas Tawuran

HotNews – Malam itu, keadaan Warakas, Jakarta Utara, merasa sunyi. Momen ini biasa Rizal pakai untuk selesaikan pekerjaannya di area tengah. Namun, tiba-tiba ia dikagetkan oleh nada gaduh yang berkunjung dari luar rumah. Teriakan bersahutan, bunyi benturan benda keras, dan cara kaki yang bergegas membawa dampak jantungnya berdetak lebih cepat.

Ia mengintip dari balik jendela, dan di bawah sinar remang lampu jalan, dua group remaja terlihat saling serang. Tawuran, seperti yang telah kerap ia dengar dan tengok sejak bertahun-tahun lalu, lagi terjadi.

“Itu kejadian hampir jam dua atau tiga pagi. Rumah saya kan bukan di komplek, menjadi tetap rawan banget. Kampung sebelahan ribut, dapat segera ke sini,” ujar Rizal kepada Liputan6.com, Selasa 13 Mei 2025.

Pria paruh baya yang telah puluhan tahun tinggal di Kelurahan Warakas, Tanjung Priok, Jakarta Utara ini mengungkapkan, panorama semacam itu bukan hal baru. Dalam setahun, ia mengaku dapat melihat dua sampai tiga insiden serupa.

Tapi malam itu merasa berbeda. Bukan hanya dikarenakan jaraknya begitu dekat dari rumah, melainkan terhitung dikarenakan kekerasan itu kini begitu nyata—bukan sekadar potongan video viral di sarana sosial.

“Ngeri jika batu nyasar masuk pagar, dapat pecahin kaca mobil atau rumah. Bukan hanya saya yang takut, tetangga terhitung pada ngeri. Kalau ada kekerasan itu ngerembet ke mana-mana,” keluhnya.

Refleks, Rizal segera menyita ponsel dan menghubungi group WhatsApp RT serta menelepon Polsek Tanjung Priok. Ia tahu, tidak dapat tinggal diam dikala ancaman itu begitu dekat. Aksi cepat itu menghasilkan hasil—kericuhan bubar didalam 20 menit, sebelum saat ada korban atau kerusakan berarti. Namun di balik perasaan lega itu, tersisa kegalauan yang belum terhitung hilang. Ia khawatir hal ini terulang kembali.

Untuk itu, Rizal mendorong para remaja yang puas terlibat tawuran untuk dapat diberdayakan lewat kegiatan positif. “Mungkin dapat lewat karang taruna, komunitas atau pun patroli yang lebih teratur agar tidak ada area untuk mereka berjumpa untuk tawuran,” ingin dia.

Sosiolog Universitas Indonesia, Ida Ruwaida Noor mengungkapkan, fenomena tawuran remaja tidak dapat lagi dipandang sebagai kenakalan biasa. Itu merupakan cermin dari masalah sosial struktural yang butuh intervensi menyeluruh sampai ke akar persoalan.

“Tawuran bukan hanya tanda-tanda sosial, tapi merupakan masalah sosial, yang kudu ada intervensi sampai ke akar masalah,” kata dia sementara dihubungi Liputan6.com, Rabu (14/5/2025).

Berdasarkan pengalamannya jalankan pendampingan pada group remaja pelaku tawuran bersama tim dari Departemen Sosiologi UI, Ida menemukan tidak benar satu akar masalah terletak pada kurangnya rekognisi pada group remaja tertentu, terutama yang berasal dari kelas menengah bawah dan tinggal di kawasan padat penduduk.

“Yang tinggal di area padat penduduk, dan atau di sekolah-sekolah yang dianggap bukan favorit. Artinya mereka mengalami marginalisasi, apalagi terhitung stigmatisasi. Pemerintah Kota condong bias kelas menengah atas,” ujar dia

Situasi ini, kata Ida, menjadi latar terbentuknya kohesi sosial yang justru dibangun atas dasar kesadaran kolektif pada pembangunan kota yang tidak berkeadilan sosial.

Lebih lanjut, Ida menyebutkan tindakan kekerasan remaja kebanyakan lebih dipicu oleh lingkungan sosial, terutama peer group atau group sebaya yang terbentuk di sekolah maupun di lingkungan area tinggal.

Dalam konteks ini, peran keluarga dan sekolah kerap kali tidak memadai kuat untuk menjadi pemeriksaan sosial yang efektif.

“Upaya pencegahan seharusnya dapat berbasis komunitas, sinkronisasi peran keluarga, sekolah, dan infrastruktur sosial, terutama kelompok-kelompok keagamaan di komunitas,” ujar dia.

Ia terhitung turut menyoroti peran sarana didalam membentuk pola pikir dan tabiat remaja. Tayangan kekerasan, dinilai turut berkontribusi didalam membentuk pola tabiat antisosial yang ditiru oleh anak-anak muda.

“Catatan utama kudu bertujuan kepada media, terhitung film-film genre kekerasan, intensitas info-info atau tayangan kekerasan, terhitung kekerasan dari ormas-ormas atau pihak-pihak lain yang dijadikan rujukan (role model) didalam bersikap dan berperilaku. Negara kudu turut aktif mengontrol media, yang lebih dominan menayangkan tabiat anti sosial,” tandas dia.

Peneliti Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB) yang terhitung sebagai Budayawan Betawi, Yahya Andi Saputra menilai tawuran yang marak terjadi di berbagai lokasi bukanlah wujud dari budaya yang melekat didalam masyarakat. Menurut dia, tawuran berawal masalah personal yang meluas dikarenakan provokasi lingkungan sekitar.

“Tawuran ya tawuran, enggak ada unsur geser-menggeser arti (budaya pamer di sosmed). Itu urusan ketersinggungan dan dendam satu orang kepada orang laen,” kata dia sementara dihubungi Liputan6.com, Rabu (14/5/2025).

Menurut Yahya, pemicu tawuran kerap kali berawal dari hal-hal sepele, apalagi tak mengetahui asal-usulnya. Namun, masalah berikut tambah berkembang menjadi konflik group dikarenakan ada solidaritas sosial yang tidak benar arah.

“Ketersinggungan ini diawali hal sapele atau enggak tau asal-muasalnya. Tiba-tiba saling bersitegang,” ujar dia.

Dalam pandangan Yahya, label tawuran sebagai budaya merupakan wujud kekeliruan berpikir yang justru mengaburkan akar persoalan.

“Urusan teristimewa yang melibatkan orang deket. Orang deket memprovokasi menjadi urusan bersama, urusan ketersinggungan dan harga diri orang sekampung. Urusan teristimewa dibawa menjadi urusan kelompok/kampung dll. Karena menahun, maka dianggap budaya. Itu konyol, bukan budaya,” ujar dia.

Yahya menekankan pentingnya peran tokoh masyarakat, ketua RT/RW, atau apalagi untuk menghindar tawuran sekaligus membantu menciptakan lingkungan yang safe dan damai.

“Banyak lingkungan yang terlampau heterogen tambah rukun damai sentosa. Ya pasti saja lingkungan dan dedengkotnya mempunyai peran penting bagi hidup rukun, tak terganggu bersama latar belakang SARA. Dedengkot mempunyai peran penting mengedukasi masyarakat untuk hidup rukun,” tandas dia.

HotNews