Indonesia Ingin Jadi Jembatan Perang Dagang AS-China

Indonesia Ingin Jadi Jembatan Perang Dagang AS-China
Indonesia Ingin Jadi Jembatan Perang Dagang AS-China

HotNews – Presiden Prabowo Subianto memastikan, Indonesia berada dalam suasana netral dan tidak memihak soal suasana perang dagang Amerika Serikat (AS)-China.
“Tidak (memihak),” tegas Prabowo kepada awak media di Turki, sepeeri dikutip Sabtu (12/4/2025).
Menurut kepala negara, baik AS maupun China, adalah kawan dekat baik bagi Indonesia. Dia justru mendambakan Indonesia menjadi jembatan bagi keduanya yang sedang ‘berperang’.
“Kami menghormati seluruh negara. Kami menganggap China sebagai kawan baik kami. Kami juga menganggap AS sebagai kawan baik. Kami mendambakan menjadi jembatan,” dia menandasi.
Sebagai informasi, perang dagang pada Amerika Serikat dan China makin memanas bersama dengan tarif impor balasan yang saling diterapkan kedua negara.
Donald Trump menargetkan tarif tinggi pada barang impor dari China yang mulai berlaku Kamis, 10 April 2025.
Seiring perihal itu, Gedung Putih mengklarifikasi terkecuali tarif kumulatif kepada China sebetulnya akan raih 145 persen.
China pun membalas tarif timbal balik Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump bersama dengan menaikkan tarif impor atas barang-barang AS menjadi 125 % dari 84 persen.
Kata Pengamat Soal Tarif Impor AS Dinilai Tak Adil: Dunia Hadapi Perang Dagang Terbuka yang Ganggu Ekonomi Global
Ketegangan geopolitik pada Amerika Serikat (AS) dan China sudah memasuki babak baru. Bukan bersama dengan senjata atau militer, melainkan lewat kebijakan ekonomi yang menghantam bermacam sektor strategis dunia. Salah satu bentuknya adalah penerapan tarif impor oleh AS yang kian agresif, dan disebut sebagai anggota dari perang dagang terbuka.
Pengamat pertalian internasional sekaligus Pendiri Synergy Policies Dinna Prapto Raharja memandang cara ini bukan cuma sebagai langkah politik, namun sebagai serangan sistematis pada tatanan ekonomi global. Ia menilai, dalam kebijakan tarif tersebut, tak tersedia kembali garis tegas pada langkah ekonomi dan tekad hegemonik.
“Menurut saya, kita sedang memandang perang terbuka pada Amerika dan China. Bukan perang fisik, namun sama destruktifnya,” kata Dinna sementara dihubungi Liputan6.com, Jumat (11/4/2025).
Dinna menyebut pendekatan ini terlampau tidak adil bagi negara berkembang.
“Trump dan pemerintahannya tidak membedakan negara maju dan berkembang. Dipukul rata semua,” tambahnya.
Meski sebagian pihak di AS menyebut kebijakan tarif impor AS sebagai anggota dari langkah negosiasi, Dinna tidak sepakat.
“Kalau dibilang langkah negosiasi, menurut aku terlampau simplistis. Karena nggak tersedia bedanya perlakuan pada negara berkembang dan negara maju,” ucapnya.
Kebijakan tersebut, menurutnya, cuma berujung pada satu hal: tekanan. AS menyatukan seluruh proposal negosiasi dari bermacam negara, namun enggan mengakses transparansi perihal kesepakatan apa yang dapat dicapai. Bahkan, Trump sudah memastikan bahwa penghapusan tarif tidak akan terjadi.
“Paling-paling dikurangi, namun tidak dihapus,” katanya.
Indonesia Harus Segera Temukan Alternatif
Dengan makin menajamnya perang tarif, Dinna menyebut Indonesia kudu realistis bahwa pasar Amerika mungkin tak kembali dapat diandalkan untuk sejumlah product unggulan.
“Kita kudu ikhlas. Pasar kita ke Amerika akan berkurang. Kita kudu cari pasar alternatif saat ini juga,” ujarnya.
Namun bukan cuma Indonesia yang terdampak. Banyak negara juga terperangkap dalam kebijakan unilateral AS yang memaksa pergeseran arah investasi dan produksi.
“Amerika mendambakan memutus supply chain China, dan menarik seluruh duit balik ke dalam negeri,” kata Dinna.
Sektor-sektor layaknya otomotif, baja, dan aluminium menjadi yang paling terpukul, dan sistem adaptasi diperkirakan tidak akan selesai dalam sementara dekat.
Dinna menyebut dunia sedang mengalami kekosongan sistem perdagangan yang belum dulu berjalan sebelumnya. Lembaga layaknya WTO dinilai tak kembali dapat menengahi konflik dagang global.
“Sistem yang tersedia kosong. WTO vakum. Sistem mengolah terganggu keseluruhan di seluruh dunia,” ujarnya.
Kondisi ini mendorong munculnya blok-blok ekonomi baru. Negara-negara layaknya Kanada, Uni Eropa, Rusia, sampai China mulai membangun kembali rantai pasok dan melacak mitra baru yang tidak bergantung pada sistem yang dikendalikan AS.
“Negara-negara ini mulai eksplorasi, pertemuan di mana-mana. Mereka aktif melacak arah baru,” kata Dinna. Bahkan Indonesia disebut kudu berkhayal kembali posisi strategisnya dalam jaringan global yang baru ini.
Namun, pembentukan blok-blok ekonomi baru ini bukan tanpa konsekuensi.
“Ini artinya bisnis hari ini menjadi jauh lebih mahal. Karena setiap masuk ke pasar baru, tersedia pagar baru. Harus negosiasi ulang,” tambahnya.
Kemungkinan Terburuk
Dalam analisisnya, Dinna memandang bahwa yang paling merisaukan adalah terkecuali China mulai mengikuti langkah ekonomi agresif AS.
“Kalau China ikut-ikutan, dapat lebih buruk. Bisa lebih ofensif,” katanya.
Dunia dapat masuk ke fase panjang tanpa adanya ruang negosiasi yang sehat.
“Menurut saya, kita sedang berada dalam jaman gelap ekonomi global. Bukan perang fisik, namun dampaknya serupa,” ujarnya.
“Kita sedang dalam crossfire. Dan kita kudu langsung menyesuaikan langkah nasional kita ke arah yang lebih mandiri, realistis, dan terbuka pada mitra-mitra baru.”